Tidak bisa dipungkiri, dinamika politik pada pemilihan gubernur tahun 2017 menjadi penyumbang terbesar meningkatnya kerawanan politisasi SARA untuk DKI Jakarta.
Wilayah rawan politisasi SARA berikutnya secara berturut-turut adalah Maluku Utara (77.16), D.I. Yogyakarta (14.81), Papua Barat (14.81), Jawa Barat (12.35), dan Kalimantan Barat (7.41).
"Skor untuk Maluku Utara dan Papua Barat tergolong tinggi karena dua wilayah ini memiliki Sejarah konflik horizontal baik etnis/suku maupun agama. Sementara, di wilayah lainnya penyumbang terbesar kerawanan politisasi SARA umumnya berupa kampanye, provokasi ataupun penolakan calon," ucapnya.
Kajian tematik IKP politisasi SARA juga menggali lebih dalam fenomena kekerasan berbasis SARA yang disinyalir menjadi muara dari kampanye bermuatan SARA.
"Temuan tim kajian tematik politisasi SARA memperlihatkan bahwa modus paling lazim dari kekerasan berbasis SARA adalah provokasi, baik itu di medis sosial maupun di tempat umum,' terang Lolly.
"Maraknya provokasi di media sosial dan tempat umum ini tentu tak bisa dilepaskan dari maraknya kampanye bermuatan SARA di media sosial dan di tempat umum," lanjutnya.
Lolly mengatakan, analisis tim IKP tematik menemukan dari 19 kabupaten/kota yang mengalami insiden kekerasan berbasis SARA, 5 di antaranya terjadi karena adanya provokasi di media sosial. Di tingkat provinsi, dari lima provinsi yang mengalami insiden kekerasan berbasis SARA, dua di antaranya terjadi karena provokasi di media sosial.
Di luar provokasi ini, mobilisasi massa untuk menolak calon, saling intimidasi, bentrokan antar kelompok dan kerusuhan warga juga merupakan bentuk-bentuk kekerasan berbasis SARA yang teridentifikasi oleh tim IKP.(*)