Prabowo mengatakan bahwa dirinya memilih Gibran sebagai cawapres karena melihat potensi dan kinerja Gibran sebagai Wali Kota Surakarta.
Ia juga mengapresiasi sikap Gibran yang bersedia meninggalkan jabatannya sebagai Wali Kota Surakarta demi mendampingi Prabowo di Pilpres 2024.
"Saya melihat Pak Gibran ini adalah sosok pemimpin muda yang cerdas, visioner, dan berprestasi. Beliau telah membuktikan diri sebagai Wali Kota Surakarta yang berhasil membawa perubahan positif di kota tersebut. Beliau juga memiliki semangat nasionalisme yang tinggi dan tidak takut mengambil risiko untuk berjuang demi Indonesia," ujar Prabowo.
Gibran sendiri mengaku terkejut dan terhormat dengan penunjukan Prabowo sebagai cawapres.
BACA JUGA:Aliansi politik Indonesia menjelang Pilpres 2024
Ia mengatakan bahwa dirinya siap belajar dari Prabowo dan berkolaborasi dengan seluruh elemen bangsa untuk mewujudkan Indonesia yang lebih baik.
"Saya merasa sangat terhormat dan bersyukur atas kepercayaan Pak Prabowo kepada saya. Saya juga merasa sangat terkejut karena ini adalah sesuatu yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya.
Saya siap belajar dari Pak Prabowo yang merupakan tokoh senior dan berpengalaman di dunia politik.
Saya juga siap bekerja sama dengan semua pihak untuk memajukan Indonesia," kata Gibran.
BACA JUGA:Pisah Jalan Jokowi dan PDIP di Depan Mata, Siapa Yang Diuntungkan?
Meski demikian, pasangan Prabowo-Gibran juga menghadapi sejumlah tantangan dan kritik dari berbagai pihak.
Salah satu tantangan utama mereka adalah menanggulangi isu dinasti politik yang muncul akibat hubungan keluarga antara Gibran dan Jokowi.
Beberapa pengamat politik menilai bahwa pencalonan Gibran sebagai cawapres Prabowo menunjukkan adanya praktik nepotisme dan oligarki dalam sistem politik Indonesia.
Mereka khawatir bahwa hal ini akan mengancam demokrasi dan kedaulatan rakyat.
BACA JUGA:Kasihan Erick Tohir, Dilepeh Golkar, Lebih Pilih Gibran Dampingi Prabowo
"Pasangan Prabowo-Gibran ini menimbulkan pertanyaan besar tentang kualitas demokrasi kita. Apakah kita mau kembali ke era Orde Baru di mana ada satu keluarga yang mendominasi kekuasaan? Apakah kita mau membiarkan oligarki politik mengambil alih hak-hak rakyat? Ini adalah hal yang sangat ironis dan menyedihkan," kata pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas Feri Amsari.