Bawaslu Ingatkan Dampak Politisasi SARA, DKI Jadi Sorotan

Lolly Suhenty-Bawaslu-

BACAKORAN.CO - Bawaslu mengingatkan bahayanya politik SARA dalam pelaksanaan Pemilu Serentak 2024. Bisa berpotensi memecah belah keberagaman di Indonesia. 

Anggota Bawaslu Lolly Suhenty mengatakan, butuh kerja sama kolektif untuk mencegah dan memitigasi dampak buruk dari Politisasi SARA. Mengingat, politisasi SARA secara cepat telah menggerogoti kualitas demokrasi Indonesia selama beberapa pemilu dan pilkada terakhir.

Penilaian ini muncul setelah dilakukan kajian mendalam isu politisasi SARA yang merupakan bagian dari riset tematik IKP Pemilu dan Pemilihan Serentak 2024. IKP sendiri telah dipublikasikan Bawaslu pada 16 Desember 2022 lalu.

Menurutnya, ada empat indikator yang menjadi ukuran dalam melihat tingkat kerawanan politisasi SARA ini. Pertama, kampanye bermuatan SARA yang disebarkan di tempat umum.

Kedua, kampanye bermuatan SARA di media sosial. Ketiga, penolakan calon dengan alasan SARA, dan keempat terkait kekerasan berbasis SARA. 

"Keempat indikator itu memiliki hubungan yang begitu kuat karena kampanye bermuatan SARA berpotensi mengarah pada provokasi. Provokasi akan mudah menggerakkan/memobilisasi massa, baik untuk mendukung maupun menolak seorang calon," ujar Lolly.

Lanjutnya, provokasi yang paling jitu tentu saja provokasi yang memuat unsur SARA karena SARA melekat dengan identitas kolektif. Karena itu, provokasi SARA sangat mudah menyulut emosi kolektif dan karenanya mampu memobilisasi massa untuk tujuan politik. 

"Tentu saja mobilisasi yang tidak terkelola dengan baik akan mengarah pada benturan terbuka antar kelompok. Itulah sebabnya mengapa kekerasan berbasis SARA seringkali menjadi muara bagi unsur-unsur politisasi SARA lainnya," ingatnya.

Kata Lolly, data IKP 2024 memperlihatkan bahwa isu agama seringkali dimainkan dalam kampanye politik. Pada tingkat kabupaten/kota, isu agama mendominasi kasus politisasi SARA di tempat umum. 

Sementara, pada tingkat provinsi, isu agama mendominasi kasus politisasi SARA di media sosial dan juga di tempat umum.

Meskipun politisasi isu agama sering terjadi dalam kampanye, penyebab utama kekerasan berbasis SARA justru terletak pada politisasi isu etnis/kesukuan. 

Lanjutnya, data IKP 2024 memperlihatkan dalam pemilu dan pilkada terakhir, isu etnis mendominasi kekerasan berbasis SARA. Ini terjadi baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

"Kedua isu ini memang sangat mudah diprovokasi karena etnis dan agama merupakan bagian dari identitas kolektif yang mampu menggerakkan suatu kelompok untuk berhadapan dengan kelompok lain," terangnya. 

Politisasi identitas kolektif ini akan lebih mudah dilakukan jika basis sosial di wilayah tersebut sudah rapuh dan memiliki Sejarah konflik antar agama atau etnis.

Bawaslu Ingatkan Dampak Politisasi SARA, DKI Jadi Sorotan

Kumaidi

Kumaidi


bacakoran.co - bawaslu mengingatkan bahayanya politik sara dalam pelaksanaan pemilu serentak 2024. bisa berpotensi memecah belah keberagaman di indonesia. 

anggota bawaslu lolly suhenty mengatakan, butuh kerja sama kolektif untuk mencegah dan memitigasi dampak buruk dari politisasi sara. mengingat, politisasi sara secara cepat telah menggerogoti kualitas demokrasi indonesia selama beberapa pemilu dan pilkada terakhir.

penilaian ini muncul setelah dilakukan kajian mendalam isu politisasi sara yang merupakan bagian dari riset tematik ikp pemilu dan pemilihan serentak 2024. ikp sendiri telah dipublikasikan bawaslu pada 16 desember 2022 lalu.

menurutnya, ada empat indikator yang menjadi ukuran dalam melihat tingkat kerawanan politisasi sara ini. pertama, kampanye bermuatan sara yang disebarkan di tempat umum.

kedua, kampanye bermuatan sara di media sosial. ketiga, penolakan calon dengan alasan sara, dan keempat terkait kekerasan berbasis sara. 

"keempat indikator itu memiliki hubungan yang begitu kuat karena kampanye bermuatan sara berpotensi mengarah pada provokasi. provokasi akan mudah menggerakkan/memobilisasi massa, baik untuk mendukung maupun menolak seorang calon," ujar lolly.

lanjutnya, provokasi yang paling jitu tentu saja provokasi yang memuat unsur sara karena sara melekat dengan identitas kolektif. karena itu, provokasi sara sangat mudah menyulut emosi kolektif dan karenanya mampu memobilisasi massa untuk tujuan politik. 

"tentu saja mobilisasi yang tidak terkelola dengan baik akan mengarah pada benturan terbuka antar kelompok. itulah sebabnya mengapa kekerasan berbasis sara seringkali menjadi muara bagi unsur-unsur politisasi sara lainnya," ingatnya.

kata lolly, data ikp 2024 memperlihatkan bahwa isu agama seringkali dimainkan dalam kampanye politik. pada tingkat kabupaten/kota, isu agama mendominasi kasus politisasi sara di tempat umum. 

sementara, pada tingkat provinsi, isu agama mendominasi kasus politisasi sara di media sosial dan juga di tempat umum.

meskipun politisasi isu agama sering terjadi dalam kampanye, penyebab utama kekerasan berbasis sara justru terletak pada politisasi isu etnis/kesukuan. 

lanjutnya, data ikp 2024 memperlihatkan dalam pemilu dan pilkada terakhir, isu etnis mendominasi kekerasan berbasis sara. ini terjadi baik pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

"kedua isu ini memang sangat mudah diprovokasi karena etnis dan agama merupakan bagian dari identitas kolektif yang mampu menggerakkan suatu kelompok untuk berhadapan dengan kelompok lain," terangnya. 

politisasi identitas kolektif ini akan lebih mudah dilakukan jika basis sosial di wilayah tersebut sudah rapuh dan memiliki sejarah konflik antar agama atau etnis.

kata lolly, data ikp 2024 memperlihatkan dki jakarta merupakan daerah dengan tingkat kerawanan politisasi sara tertinggi di indonesia. 

tidak bisa dipungkiri, dinamika politik pada pemilihan gubernur tahun 2017 menjadi penyumbang terbesar meningkatnya kerawanan politisasi sara untuk dki jakarta. 

wilayah rawan politisasi sara berikutnya secara berturut-turut adalah maluku utara (77.16), d.i. yogyakarta (14.81), papua barat (14.81), jawa barat (12.35), dan kalimantan barat (7.41). 

"skor untuk maluku utara dan papua barat tergolong tinggi karena dua wilayah ini memiliki sejarah konflik horizontal baik etnis/suku maupun agama. sementara, di wilayah lainnya penyumbang terbesar kerawanan politisasi sara umumnya berupa kampanye, provokasi ataupun penolakan calon," ucapnya.

kajian tematik ikp politisasi sara juga menggali lebih dalam fenomena kekerasan berbasis sara yang disinyalir menjadi muara dari kampanye bermuatan sara. 

"temuan tim kajian tematik politisasi sara memperlihatkan bahwa modus paling lazim dari kekerasan berbasis sara adalah provokasi, baik itu di medis sosial maupun di tempat umum,' terang lolly. 

"maraknya provokasi di media sosial dan tempat umum ini tentu tak bisa dilepaskan dari maraknya kampanye bermuatan sara di media sosial dan di tempat umum," lanjutnya. 

lolly mengatakan, analisis tim ikp tematik menemukan dari 19 kabupaten/kota yang mengalami insiden kekerasan berbasis sara, 5 di antaranya terjadi karena adanya provokasi di media sosial. di tingkat provinsi, dari lima provinsi yang mengalami insiden kekerasan berbasis sara, dua di antaranya terjadi karena provokasi di media sosial.

di luar provokasi ini, mobilisasi massa untuk menolak calon, saling intimidasi, bentrokan antar kelompok dan kerusuhan warga juga merupakan bentuk-bentuk kekerasan berbasis sara yang teridentifikasi oleh tim ikp.(*)

Tag
Share