bacakoran.co - sejumlah ekonom mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif pajak pertambahan nilai () menjadi 12% yang akan berlaku mulai 1 januari 2025 meskipun diklaim hanya untuk barang mewah.
menurut para ekonom kenaikan ini justru akan berdampak pada kebutuhan masyarakat kelas menengah ke bawah.
sebenarnya pengecualian untuk barang pangan bukanlah hal baru, karena pengaturan ini sudah ditetapkan dalam undang-undang nomor 42 tahun 2009 sebelum disusunnya undang-undang harmonisasi peraturan perpajakan (hpp) tahun 2021.
terbaru ramai netizen membuat petisi yang menolak kenaikan pajak pertambahan nilai (ppn) menjadi 12 persen ditujukan kepada presiden dengan harapan agar rencana kenaikan tersebut dibatalkan.
petisi ini diinisiasi oleh akun bernama "bareng warga" dan pertama kali dipublikasikan di situs pada 19 november 2024.
alasan di balik petisi ini adalah kekhawatiran bahwa kenaikan ppn dapat memperberat beban hidup masyarakat, mengingat harga berbagai kebutuhan akan ikut meningkat seiring dengan kenaikan pajak tersebut.
bhima yudhistira direktur eksekutif celios, menyatakan bahwa keputusan pemerintah ini lebih mirip sebuah manuver politik untuk mengurangi kritik publik.
"klaim pemerintah lebih terkesan sebagai manuver politik untuk meredam kritik publik. kenyataannya, kenaikan tarif ppn tetap akan dikenakan pada sebagian besar kebutuhan masyarakat menengah ke bawah," ujarnya dalam pernyataan tertulis pada kamis, 19 desember 2024.
kebijaka ini disebut masih berdampak luas, termasuk pada barang-barang elektronik dan suku cadang kendaraan bermotor.
deterjen, sabun mandi, dan pakaian juga terkena imbasnya.
"deterjen dan sabun mandi apa dikategorikan juga sebagai barang orang mampu? narasi pemerintah semakin kontradiksi dengan keberpihakan pajak. selain itu kenaikan ppn 12% tidak akan berkontribusi banyak terhadap penerimaan pajak, karena efek pelemahan konsumsi masyarakat, omzet pelaku usaha akan mempengaruhi penerimaan pajak lain seperti pph badan, pph 21 dan bea cukai," tambah bhima.
sebelumnya dikutip bacakoran.co dari kompas tv pada kamis (19/12) menginformasikan jika minyak kemasan non subsidi, kecap, bumbu dapur kemasan bahkan sampai sabun deterjen menjadi barang terkena kenaikan ppn 12%.
"ini barang semuanya kena ppn 12% yang gak terkena (ppn 12%) cuma beras, gula sama garem," ujar salah satu pedangang pasa palmerah jakarta dikutip kompas tv.
pemberlakuan kebijakan ini dipandang berisiko meningkatkan inflasi yang tinggi pada tahun depan, sehingga menambah tekanan ekonomi, terutama bagi kelompok masyarakat menengah ke bawah.
fenomena ini dapat memperburuk kondisi masyarakat yang sebelumnya berada di kelas menengah menjadi lebih rentan.
penggunaan tarif ppn yang berbeda untuk beberapa barang atau multitarif ini dinilai tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
kebijakan tersebut dapat melanggar undang-undang tentang ppn, baik yang diatur dalam hpp maupun undang-undang lainnya.
kabari ini menimbulkan banyak tanggapan negatif dari beberapa netizen, berikut beberapa komentar dikutip dari x akun @heraloebss pada kamis, 19 desember 2024.
"sabun , detergen, pakaian kena ppn 12%???? ini gimana komitmen pemerintah!! katanya ppn 12% hanya untuk barang mewah, tapi ujung2nya berlaku untuk semua barang dan jasa," tulis akun x @heraloebss.
"ini lah indonesia air air ku. tanahnya udh di jual dan di gadaikan," tulis @guntara_yudi.
"semuanya dari dulu sudah kena pajak, miss.. hanya saja ga sampai 12% kan semua produk barang dan jasa memang mengandung pajak dan sampai hari ini pajak itu 11% yang sebenarnya sudah sangat tinggi," tulis @violettapadma.
"siap siap merasakan dampaknya yaaa, termasuk aku, " tulis @ridwanridw79075.
"sabun itu hanya untuk kaum bangsawan. rakyat jelata pake abu gosok," tulis @anggoromon.