Pemprov Sumsel-Komisi II DPR RI Evaluasi Pelaksanaan Seleksi CPNS dan PPPK Tahap 1 Tahun 2024

Pemprov Sumsel-Komisi II DPR RI Evaluasi Pelaksanaan Seleksi CPNS dan PPPK Tahap 1 Tahun 2024.gbr.bacakoran--
Guna memastikan transparansi dalam proses seleksi pemprov Sumsel melibatkan tim APIP Inspektorat Sumsel.
BACA JUGA:Demo ASN Gejolak di Kemendikti Saintek, Begini Respons Presiden Prabowo dan Klaim Satryo
BACA JUGA:Banjir dan Longsor Pekalongan Sebabkan 15 Orang Tewas dan 5 Hilang, Ini Identitasnya
Kendala yang dihadapi Pemprov Sumsel dalam menyelesaikan proses penataan pegawai non ASN terutama keterbatasan anggaran, namun demikian Pemprov Sumsel akan berupaya membayar gaji tenaga non ASN paruh waktu dengan layak.
Wakil Ketua Komisi II DPR RI Dede Yusuf mengatakan Komisi yang dipimpinnya ini membawahi urusan pemerintahan daerah, termasuk yang terkait dengan Kemenpan RB dan kepegawaian, urusan pertanahan, serta urusan pelaksanaan pemilu.
"Kami paham bahwa pemerintah sedang melakukan upaya penataan terhadap ASN. Dalam prosesnya UU ASN masih belum keluar PP-nya.
Terutama terkait pegawai honorer. Oleh sebab itu, kehadiran kami di sini ingin menyerap aspirasi dan mendengar kendala yang dihadapi pemerintah daerah,” bebernya.
Di satu sisi pemerintah memang kekurangan tenaga pegawai, tetapi di sisi lain pegawai honorer terus bertambah hingga jumlahnya mencapai 4 juta orang, hingga akhirnya mendorong pemerintah untuk menerbitkan sistem PPPK.
BACA JUGA:Wakil Ketua DPR RI Tegaskan, Larangan Pengecer Jual Gas LPG 3 Kilogram bukan Kebijakan Presiden!
BACA JUGA:Kasus Penembakan Imigran Indonesia di Malaysia, DPR RI Minta Perkara Ini Diusut Secara Transparan
"Namun dalam perjalanannya tidak berjalan mulus. Tercatat ada 1,7 juta orang yang mengikuti PPPK, yang lolos sebanyak 1,4 juta orang, dan masih sisa 300 ribu orang yang belum lulus,” ungkapnya.
Permasalahan bukan hanya di BKN saja, tetapi juga berasal dari daerah. Pemerintah daerah pun mengalami kesulitan saat menerima begitu banyak formasi pegawai dan pembiayaan (kondisi keuangan daerah).
Belum lagi ada UU yang menyatakan bahwa belanja pegawai tidak boleh lebih dari 30%.
Database BKN berasal dari data yang diinput BKD. Namun masih terdapat tenaga honorer yang telah bekerja bertahun-tahun sangat sulit terdata di database, dibandingkan mereka yang baru bekerja beberapa tahun.
Permasalahan lain yang muncul adanya pegawai honorer pusat (Kementerian) yang ditempatkan di daerah (provinsi). Namun oleh Pemprov dianggap sebagai pegawai pusat, sementara pusat menganggap (mengembalikan) pegawai tersebut ke daerah.