Anggota Bawaslu Ini Khawatir Penerapan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Multitafsir

BACAKORAN.CO - Tahun depan, Bangsa Indonesia akan menjalankan Pemilu 2024. Untuk mengatur jalannya pesta demokrasi tersebut, Pemerintah membuat Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Di sana tersusun aturan mainnya. Termasuk jika ada pelanggar aturan juga diatur sanksinya. Hanya, Anggota Bawaslu Puadi itu khawatir dengan banyaknya pasal pidana dalam undang-undang yang bisa multitafsir dan tidak aplikatif. Hal ini justru bisa menjadi salah satu problematika dalam menangani tindak pidana pemilu. "Banyaknya norma pidana dalam UU Pemilu mengindikasikan bahwa pembuat kebijakan lebih mengutamakan penanganan pidana (premium remedium) sebagai cara menanggulangi ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu," jelas Puadi saat menjadi narasumber di Forum Koordinasi Sentra Gakkumdu di Balikpapan, Kalimantan Timur. Lanjutnya, tidak semua kasus harus diselesaikan dengan sanksi pidana. Pada kasus tertentu, penerapan sanksi administratif dan etik bisa lebih efektif dari pada mengunakan sanksi pidana. Puadi yang juga Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi Bawaslu memberikan mencontohkan. Misal, ada PPS (Panitia Pemungutan Suara) yang tidak mengumumkan DPS (daftar pemilih sementara). Aturan ini tercantum dalam Pasal 489 UU Pemilu. atau kasus lain adalah  kampanye di luar jadwal yang diatur Pasal 492 UU Pemilu. "Sanksi pidana seharusnya menjadi langkah terakhir (ultimum remedium) apabila sanksi administratif maupun etik sudah diterapkan, namun perbuatan kembali terulang," jelasnya. Bukti bahwa sanksi pidana tidak efektif menekan pelanggaran adalah tren pelanggaran dalam pemilu atau pilkada selalu berulang. Contoh terkait politik uang. Kemudian terkait kasus kepala desa yang tidak netral. Terjadi juga berulang kasus mencoblos lebih dari sekali. "(Berulangnya tren pelanggaran ini) mengindikasikan bahwa pendekatan pidana kurang efektif," tukasnya.(*)

Anggota Bawaslu Ini Khawatir Penerapan UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 Multitafsir

kumaidi sumeks

kumaidi sumeks


bacakoran.co - tahun depan, bangsa indonesia akan menjalankan pemilu 2024. untuk mengatur jalannya pesta demokrasi tersebut, pemerintah membuat undang-undang pemilu nomor 7 tahun 2017. di sana tersusun aturan mainnya. termasuk jika ada pelanggar aturan juga diatur sanksinya. hanya, anggota bawaslu puadi itu khawatir dengan banyaknya pasal pidana dalam undang-undang yang bisa multitafsir dan tidak aplikatif. hal ini justru bisa menjadi salah satu problematika dalam menangani tindak pidana pemilu. "banyaknya norma pidana dalam uu pemilu mengindikasikan bahwa pembuat kebijakan lebih mengutamakan penanganan pidana (premium remedium) sebagai cara menanggulangi ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu," jelas puadi saat menjadi narasumber di forum koordinasi sentra gakkumdu di balikpapan, kalimantan timur. lanjutnya, tidak semua kasus harus diselesaikan dengan sanksi pidana. pada kasus tertentu, penerapan sanksi administratif dan etik bisa lebih efektif dari pada mengunakan sanksi pidana. puadi yang juga koordinator divisi penanganan pelanggaran dan data informasi bawaslu memberikan mencontohkan. misal, ada pps (panitia pemungutan suara) yang tidak mengumumkan dps (daftar pemilih sementara). aturan ini tercantum dalam pasal 489 uu pemilu. atau kasus lain adalah  kampanye di luar jadwal yang diatur pasal 492 uu pemilu. "sanksi pidana seharusnya menjadi langkah terakhir (ultimum remedium) apabila sanksi administratif maupun etik sudah diterapkan, namun perbuatan kembali terulang," jelasnya. bukti bahwa sanksi pidana tidak efektif menekan pelanggaran adalah tren pelanggaran dalam pemilu atau pilkada selalu berulang. contoh terkait politik uang. kemudian terkait kasus kepala desa yang tidak netral. terjadi juga berulang kasus mencoblos lebih dari sekali. "(berulangnya tren pelanggaran ini) mengindikasikan bahwa pendekatan pidana kurang efektif," tukasnya.(*)
Tag
Share