Serem, Anak-anak di Kabupaten Masih Lakukan Ritual Mandi Darah, Alasannya Ada yang Mistis

BACAKORAN.CO :  Anak-anak di wilayah Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara) Provinsi  Sumatera Selatan (Sumsel) hingga kini masih banyak yang menjalankan ritual mandi darah. Dalam tradisi itu, mereka di mandikan dengan darah kerbau yang masih segar. Menurut warga, tradisi ini mereka jalankan sebagai rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, megobati penyakit, tolak balak dan menolak sihir atau santet. Informasi yang di dapat, tradisi langka itu hingga kini masih dilakukan beberapa suku di Muratara. Baik suku Musi, Suku Anak Dalam, Suku Rawas, Suku Melayu dan suku suku lainnya. Hampir mayoritas penduduk suku–suku itu  bermukim di kawasan Rawas dan Rupit yang berada di tepi aliran Sungai Musi yang ada di wilayah tersebut. Alam, warga Desa Pauh, Kecamatan Rawas Ilir, Kabupaten Muratara, yang pernah menjalani ritual ini mengatakan, hampir seluruh keluarganya melakukan ritual itu. Dia sendiri mengaku tidak mengetahui secara pasti, sejak kapan ritual itu berlangsung di tengah masyarakat. Namun karena tradisi itu menurutnya banyak mengandung filosofis positif, maka dia mengikutinya. "Dua adik saya juga pernah mandi darah, ini biasanya di lakukan untuk membayar nazar atau hajat,”katanya. “Tradisi ini sudah ada secara turun temurun dan sampai sekarang masih tetap dipakai di masyarakat di desa kami," terangnya. Alam menjelaskan, biasanya ritual mandi darah ini di lakukan sebelum matahari terbit. “Persisnya di mulai sehabis salat Subuh. Prosesi ini disaksikan seluruh keluarga hingga selesai,”tuturnya. "Darahnya harus segar, tidak boleh beku. Jadi sekitar 5 menit setelah kerbau di sembelih, langsung di gunakan untuk mandi,”urainya. Biasanya kata dia, saat kerbau di sembelih, darahnya  itu di tampung pakai  ember, baskom atau wadah lainnya. Kemudian dari wadah itu di guyur atau di siramkan ke badan si anak oleh anggota keluarga yang lain menggunakan gayung. Orang yang di mandikan darah ini, kata dia  diminta untuk bertahan sekitar 10 menit. Disaat bersamaan, dia di doakan kesehatan, keselamatan dan di lapangkan rezeki oleh sesepuh adat maupun sanak keluarga dan warga yang hadir menyaksikan ritual itu. Ritual kemudian di lanjutkan dengan mensucikan diri dengan mandi di aliran Sungai Rawas. "Mandi darah itu biasanya di pakai untuk anak laki-laki dan anak perempuan,”jelas Alam. “Filosofinya anak laki-laki itu harus kuat, berani, tahan banting tidak takut mengarungi hidup atau merantau," katanya. Dia mengaku, saat di mandikan darah ada sensasi yang sangat berbeda yang langsung dirasakan. Khususnya ketika darah mulai disiramkan dari bagian kepala hingga ujung kaki. Darah merah yang pekat dan masih hangat itu terasa mengalir di permukaan kulit dengan bau khas,  semua sensasi  menjadi satu. Usai ritual mandi darah, di sambung dengan acara hajatan seperti yasinan dan mendoakan sesepuh maupun orang tua yang telah meninggal dunia. Rozali salah satu tokoh adat di Kabupaten Muratara, saat dibincangi mengungkapkan, suku melayu yang mendiami wilayah Muratara di anggap cukup tua (Melayu Proto). Hal itu kata dia bisa di lihat dari jejak peradaban, adat istiadat yang berkembang, hingga penggunaan kosa kata dan dialek tutur wicara. Menurutya dialek melayu Muratara  di dominasi laksem sengau atau dialek melayik (melayu kuno). Dia mencontohkan beberapa kosa kata, misalnya kata urang (orang), awak (saya), legen (tangan), bungin (pasir). Kemudia  hulu (Ulu), keneng (dahi), guha (Goa), samping (sarung), pinggan (piring), tihang (tiang), bilik (dinding), muara (pertemuan), hatep (atap), tapay (tapai). Lalu  lampuyang (wadah besar), imau (harimau), inum (minum), tunu (bakar), getah, barunas (tumbuh pelan), cucuk girek (tusuk samping/miring). “Kata-kata itu masih dipakai warga kita, di Muratara secara luas dalam kehidupan sehari hari" ujarnya. Menurutnya, dialek Melayik lebih tua jika dibanding dengan dialek melayu muda/melayu Deutro yang tersebar saat ini. Seperti melayu Malaysia, atau kosa kata melayu yang diserap Bahasa Indonesia. Terkait sejumlah, adat istiadat yang berkembang di Muratara, menurutnya memiliki latar belakang khusus. Karena itu kata dia  dianggap wajar jika memiliki keterkaitan dan kesamaan dengan sejumlah adat maupun ritual di daerah lain maupun di belahan dunia lainnya. Menurutnya, tradisi ini tidak secara langsung di praktekkan begitu saja. Tentunya ada asal usul dan pangkal mula yang melatari tradisi itu, sehingga bisa diyakini secara luas dan digunakan masyarakat secara umum, dan di warisi dari generasi ke generasi.(*)

Serem, Anak-anak di Kabupaten Masih Lakukan Ritual Mandi Darah, Alasannya Ada yang Mistis

Doni Sumeks

Doni Sumeks


bacakoran.co :  anak-anak di wilayah kabupaten musi rawas utara (muratara) provinsi  sumatera selatan (sumsel) hingga kini masih banyak yang menjalankan ritual mandi darah. dalam tradisi itu, mereka di mandikan dengan darah kerbau yang masih segar. menurut warga, tradisi ini mereka jalankan sebagai rasa syukur kepada tuhan yang maha esa, megobati penyakit, tolak balak dan menolak sihir atau santet. informasi yang di dapat, tradisi langka itu hingga kini masih dilakukan beberapa suku di muratara. baik suku musi, suku anak dalam, suku rawas, suku melayu dan suku suku lainnya. hampir mayoritas penduduk suku–suku itu  bermukim di kawasan rawas dan rupit yang berada di tepi aliran sungai musi yang ada di wilayah tersebut. alam, warga desa pauh, kecamatan rawas ilir, kabupaten muratara, yang pernah menjalani ritual ini mengatakan, hampir seluruh keluarganya melakukan ritual itu. dia sendiri mengaku tidak mengetahui secara pasti, sejak kapan ritual itu berlangsung di tengah masyarakat. namun karena tradisi itu menurutnya banyak mengandung filosofis positif, maka dia mengikutinya. "dua adik saya juga pernah mandi darah, ini biasanya di lakukan untuk membayar nazar atau hajat,”katanya. “tradisi ini sudah ada secara turun temurun dan sampai sekarang masih tetap dipakai di masyarakat di desa kami," terangnya. alam menjelaskan, biasanya ritual mandi darah ini di lakukan sebelum matahari terbit. “persisnya di mulai sehabis salat subuh. prosesi ini disaksikan seluruh keluarga hingga selesai,”tuturnya. "darahnya harus segar, tidak boleh beku. jadi sekitar 5 menit setelah kerbau di sembelih, langsung di gunakan untuk mandi,”urainya. biasanya kata dia, saat kerbau di sembelih, darahnya  itu di tampung pakai  ember, baskom atau wadah lainnya. kemudian dari wadah itu di guyur atau di siramkan ke badan si anak oleh anggota keluarga yang lain menggunakan gayung. orang yang di mandikan darah ini, kata dia  diminta untuk bertahan sekitar 10 menit. disaat bersamaan, dia di doakan kesehatan, keselamatan dan di lapangkan rezeki oleh sesepuh adat maupun sanak keluarga dan warga yang hadir menyaksikan ritual itu. ritual kemudian di lanjutkan dengan mensucikan diri dengan mandi di aliran sungai rawas. "mandi darah itu biasanya di pakai untuk anak laki-laki dan anak perempuan,”jelas alam. “filosofinya anak laki-laki itu harus kuat, berani, tahan banting tidak takut mengarungi hidup atau merantau," katanya. dia mengaku, saat di mandikan darah ada sensasi yang sangat berbeda yang langsung dirasakan. khususnya ketika darah mulai disiramkan dari bagian kepala hingga ujung kaki. darah merah yang pekat dan masih hangat itu terasa mengalir di permukaan kulit dengan bau khas,  semua sensasi  menjadi satu. usai ritual mandi darah, di sambung dengan acara hajatan seperti yasinan dan mendoakan sesepuh maupun orang tua yang telah meninggal dunia. rozali salah satu tokoh adat di kabupaten muratara, saat dibincangi mengungkapkan, suku melayu yang mendiami wilayah muratara di anggap cukup tua (melayu proto). hal itu kata dia bisa di lihat dari jejak peradaban, adat istiadat yang berkembang, hingga penggunaan kosa kata dan dialek tutur wicara. menurutya dialek melayu muratara  di dominasi laksem sengau atau dialek melayik (melayu kuno). dia mencontohkan beberapa kosa kata, misalnya kata urang (orang), awak (saya), legen (tangan), bungin (pasir). kemudia  hulu (ulu), keneng (dahi), guha (goa), samping (sarung), pinggan (piring), tihang (tiang), bilik (dinding), muara (pertemuan), hatep (atap), tapay (tapai). lalu  lampuyang (wadah besar), imau (harimau), inum (minum), tunu (bakar), getah, barunas (tumbuh pelan), cucuk girek (tusuk samping/miring). “kata-kata itu masih dipakai warga kita, di muratara secara luas dalam kehidupan sehari hari" ujarnya. menurutnya, dialek melayik lebih tua jika dibanding dengan dialek melayu muda/melayu deutro yang tersebar saat ini. seperti melayu malaysia, atau kosa kata melayu yang diserap bahasa indonesia. terkait sejumlah, adat istiadat yang berkembang di muratara, menurutnya memiliki latar belakang khusus. karena itu kata dia  dianggap wajar jika memiliki keterkaitan dan kesamaan dengan sejumlah adat maupun ritual di daerah lain maupun di belahan dunia lainnya. menurutnya, tradisi ini tidak secara langsung di praktekkan begitu saja. tentunya ada asal usul dan pangkal mula yang melatari tradisi itu, sehingga bisa diyakini secara luas dan digunakan masyarakat secara umum, dan di warisi dari generasi ke generasi.(*)
Tag
Share