Faisal menambahkan, ada dua cara untuk melaporkan gratifikasi. Pertama, melaporkan gratifikasi secara mandiri kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dengan cara ini, pelapor dapat datang langsung atau mengirimkan laporan via pos, surat elektronik, atau aplikasi KPK pada laman [https://gol.kpk.go.id](https://gol.kpk.go.id).
Kedua, melaporkan gratifikasi melalui UPG Satuan Kerja dan meneruskannya ke UPG Instansi Pusat.
Terkait perang terhadap gratifikasi, Kementerian Agama telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama 23 Tahun 2021 tentang Pengendalian Gratifikasi pada Kementerian Agama.
Regulasi ini antara lain mengatur tentang gratifikasi yang terbagi menjadi dua kategori: yaitu kategori gratifikasi yang wajib dilaporkan dan tidak wajib dilaporkan.
"Gratifikasi yang wajib dilaporkan merupakan gratifikasi yang berkaitan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas pegawai. Sedangkan, gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan adalah gratifikasi yang tidak terkait dengan kedinasan," tukasnya.
Kata Faisal, masalah gratifikasi diatur dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UU tersebut dijelaskan bahwa gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Bisa merupakan pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.
Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Pasal 12B UU No 20 tahun 2021 menyebutkan bahwa gratifikasi yang diberikan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dapat dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatan atau berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.
Penerima gratifikasi diancam hukuman penjara seumur hidup atau paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dengan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.(*)