Sayangnya, bagaimanapun, kita melihat di dunia saat ini, kecenderungan-kecenderungan tertentu yang menghalangi perkembangan persaudaraan universal (bdk. Surat Ensiklik, Fratelli Tutti, 9). Di berbagai daerah kita menyaksikan munculnya konflik-konflik kekerasan, yang sering kali adalah akibat kurangnya sikap saling menghargai, dan dari keinginan intoleran untuk memaksakan kepentingan sendiri, posisi sendiri dan narasi historis sepihak dengan segala upaya, bahkan kalaupun hal ini membawa kepada penderitaan tiada akhir bagi seluruh komunitas dan berujung pada peperangan dan banyak pertumpahan darah.
Kadang-kadang, ketegangan-ketegangan dengan unsur kekerasan timbul di dalam negara-negara karena mereka yang berkuasa ingin menyeragamkan segala sesuatu dengan memaksakan visi mereka bahkan dalam hal-hal yang seharusnya diserahkan kepada otonomi individu-individu atau kelompok-kelompok yang berkaitan.
Terlebih, terlepas dari kebijakan-kebijakan yang mengesankan, terdapat juga kurangnya komitmen sejati yang berorientasi ke depan untuk menerapkan prinsip-prinsip keadilan sosial. Akibatnya, sebagian besar umat manusia terpinggirkan, tanpa sarana untuk menjalani hidup yang bermartabat dan tanpa perlindungan dari ketimpangan sosial yang serius dan bertumbuh, yang memicu konflik-konflik yang parah.
Dalam konteks-konteks lainnya, masyarakat percaya bahwa mereka dapat atau boleh mengabaikan kebutuhan untuk memohon berkat Allah, menilainya sebagai sesuatu yang dangkal bagi manusia dan masyarakat sipil. Sebaliknya, mereka memajukan usaha-usaha mereka sendiri, tapi kerap kali hal ini mengantar mereka kepada pengalaman frustrasi dan kegagalan.
Meski demikian, ada masa-masa ketika iman kepada Allah terus menerus diletakkan di garis depan, tapi sayangnya dimanipulasi untuk menciptakan perpecahan dan meningkatkan kebencian, dan bukan untuk memajukan perdamaian, persekutuan, dialog, rasa hormat, kerja sama dan persaudaraan.
Berhadapan dengan tantangan-tantangan yang disebutkan di atas, adalah sesuatu yang memberanikan bahwa falsafah yang menuntun ketatanegaraan Indonesia sungguh seimbang sekaligus
bijaksana. Terkait hal ini, saya ingin menjadikan kata-kata dari Santo Yohanes Paulus II dalam kunjungannya tahun 1989 di istana ini sebagai perkataan saya.
Di antara hal-hal lain, beliau berkata:
"Dengan mengakui kehadiran keanekaragaman yang sah, dengan menghargai hak-hak manusia dan politik dari semua warga, dan dengan mendorong pertumbuhan persatuan nasional berlandaskan toleransi dan sikap saling menghargai terhadap orang lain, Anda meletakkan fondasi bagi masyarakat yang adil dan damai, yang diinginkan semua warga Indonesia untuk diri mereka sendiri dan rindu untuk diwariskan kepada anak-anak mereka" (Pidato kepada Presiden Republik Indonesia dan Para Pejabat Sipil, Jakarta, 9 Oktober 1989).
BACA JUGA:Umat Katolik, Paus Fransiskus Datang ke Indonesia, Penuhi Undangan Jokowi, Ini Kata Menag?
Jika terkadang di masa lalu prinsip-prinsip tersebut tidak selalu diterapkan, namun prinsip-prinsip ini tetaplah berlaku dan dipercaya, ibarat mercusuar yang menyinari jalan yang ditempuh dan yang memperingatkan tentang kesalahan-kesalahan amat berbahaya yang harus dihindari.
Bapak Presiden, para hadirin sekalian, Saya berharap agar setiap orang, dalam kehidupan mereka sehari-hari, akan mampu menimba inspirasi dari prinsip-prinsip ini dan menerapkannya ketika melaksanakan kewajiban mereka masing-masing, karena opus justitiae pax, perdamaian adalah karya dari keadilan.
Kerukunan dicapai ketika kita berkomitmen tidak hanya demi kepentingan-kepentingan dan visi kita sendiri, tapi demi kebaikan bersama, dengan membangun jembatan, memperkokoh kesepakatan dan sinergi, menyatukan kekuatan untuk mengalahkan segala bentuk penderitaan moral, ekonomi, dan sosial, dan untuk memajukan perdamaian dan kerukunan.
Semoga Allah memberkati Indonesia dengan perdamaian, demi masa depan penuh harapan. Allah memberkati Anda sekalian!