bacakoran.co - di tengah upaya pemerintah untuk menyediakan program bergizi gratis bagi siswa-siswi.
kejadian yang mengejutkan justru terjadi di sman 2 cileungsi, kabupaten bogor, jawa barat.
sebanyak 387 siswa kelas 10 di sekolah tersebut dilaporkan dipungut biaya sebesar rp 2,6 juta untuk kebutuhan makan siang guru dan pegawai tata usaha.
pungutan ini menjadi sorotan tajam karena dirasa sangat memberatkan orang tua siswa yang tidak mampu.
meskipun pemerintah gencar menjalankan program makan gratis untuk pelajar.
viral di media sosial, para orang tua murid merasa ditipu dan dibebani yang tidak wajar.
mereka diminta untuk membayar makan siang guru selama satu tahun, pembelian ac, dan biaya tambahan daya listrik sekolah.
hal ini menambah kecemasan, mengingat besaran biaya yang mencapai jutaan rupiah.
kekesalan orang tua semakin memuncak ketika mereka mendatangi sekolah untuk meminta klarifikasi tentang pungutan tersebut.
namun, mereka kecewa karena tidak dapat bertemu dengan kepala sekolah, dan tidak ada pihak yang bersedia memberikan komentar atau konfirmasi lebih lanjut.
beberapa orang tua yang hadir menyatakan bahwa mereka sangat keberatan dengan yang dibebankan kepada mereka.
mereka mengungkapkan bahwa mereka merasa terbebani dengan biaya yang sangat tinggi, sementara banyak dari mereka yang tidak mampu.
"ini jelas melanggar prinsip keadilan, kami dipaksa membayar makan siang guru dengan jumlah yang sangat besar. kami sebagai orang tua merasa tidak mampu dan bingung dengan kebijakan ini," ujar marlon salah seorang orang tua siswa.
pada awalnya, pungutan ini bahkan direncanakan mencapai rp 3 juta per siswa.
namun, setelah ada gelombang protes dari orang tua, ketua komite sekolah akhirnya merevisi jumlah pungutan menjadi rp 650.000 per orang tua.
namun tetap mencakup biaya dan biaya lainnya.
ketua komite sman 2 cileungsi, astar lambaga, memberikan klarifikasi terkait isu ini.
dalam penjelasannya, astar lambaga menyebutkan bahwa pungutan tersebut merupakan usulan dari pihak sekolah yang dianggap sebagai kebutuhan mendesak dan tidak tercakup dalam anggaran bos (bantuan operasional sekolah).
program yang dimaksud meliputi makan siang untuk guru dan pegawai, pembelian ac, dan biaya tambahan untuk daya listrik.
"program ini merupakan usulan dari pihak sekolah yang memang tidak terakomodasi dalam anggaran bos. komite berperan untuk menggalang dana dari orang tua siswa untuk memenuhi kebutuhan tersebut," jelas astar lambaga.
namun, penjelasan tersebut tidak cukup memuaskan para orang tua yang merasa keberatan dengan alasan yang diberikan.
mereka mempertanyakan mengapa pihak sekolah tidak mencari alternatif lain untuk pendanaan atau memprioritaskan kesejahteraan siswa terlebih dahulu.
banyak orang tua yang merasa kecewa dan marah dengan keputusan pihak sekolah.
karena merasa bahwa dana yang mereka bayarkan seharusnya digunakan untuk kepentingan pendidikan anak-anak mereka.
bukan untuk memenuhi kebutuhan makan siang guru atau pembelian barang-barang yang tidak mendesak.
"seharusnya uang itu digunakan untuk kepentingan pendidikan siswa, bukan untuk hal-hal yang tidak ada kaitannya langsung dengan proses belajar-mengajar," kata seorang orang tua lainnya.
kekecewaan ini memunculkan permintaan kepada pemerintah dan dinas pendidikan terkait untuk menindaklanjuti kasus ini, agar kejadian serupa tidak terulang lagi di masa depan.
kejadian ini juga menyoroti kurangnya pengawasan terhadap pengelolaan dana di sekolah-sekolah .
orang tua berharap agar pemerintah, khususnya dinas pendidikan, lebih memperhatikan sikap pengelola sekolah dalam mengelola dana.
agar tidak ada pihak yang dirugikan, terutama orang tua yang seharusnya mendapat akses pendidikan yang lebih baik tanpa harus dibebani biaya yang memberatkan.
kehadiran pihak berwenang diharapkan dapat memberikan solusi yang adil.
dan memastikan bahwa kebijakan pendidikan di sekolah-sekolah negeri tetap berpihak pada kepentingan siswa dan orang tua.
tanpa adanya pungutan liar atau pungutan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
kisah ini menjadi pengingat bahwa setiap kebijakan yang dikeluarkan oleh sekolah harus transparan dan adil, serta memperhatikan kondisi ekonomi orang tua siswa.
masyarakat berharap agar pihak berwenang segera turun tangan untuk mengusut tuntas masalah ini agar kepercayaan orang tua terhadap sistem pendidikan tetap terjaga.