BACAKORAN.CO – Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berlanjut.
Pada perdagangan hari ini, Kamis (29/2/2024), nilai tukar rupiah berada di posisi Rp15.719 per USD, turun 27 poin atau 0,17 persen dibanding perdagangan sebelumnya.
Pelemahan rupiah dipicu sentimen ekonomi AS, dimana saat ini pasar menantikan rilis data indeks PCE atau harga belanja personal sebagai indikator keputusan suku bunga acuan The Fed.
Sementara indeks dolar tercatat ambles 0,14 persen ke posisi 103,76.
BACA JUGA:Kondisi Rupiah Rupiah di Tengah Terus Melonjaknya Utang Pemerintah
BACA JUGA:Rupiah Tertekan Lonjakan Harga Beras dan Bayang-bayang Inflasi
Adapun sejumlah mata uang kawasan Asia kompak menguat terhadap dolar AS.
Tercatat yen Jepang melejit 0,64 persen, dolar Hong Kong naik 0,02 persen, dolar Singapura melaju 0,13 persen, won Korea menguat 0,17 persen, peso Filipina naik tipis 0,08 persen, rupee India melesat 0,01 persen, ringgit Malaysia plus 0,28 persen, dan baht Thailand menguat 0,33 persen.
Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, fokus pasar saat ini tertuju pada data indeks harga PCE, ukuran inflasi pilihan The Fed yang akan dirilis hari ini.
Angka tersebut diperkirakan akan menegaskan kembali bahwa inflasi AS masih stabil di bulan Januari, terutama menyusul angka inflasi konsumen yang lebih tinggi dari perkiraan pada bulan tersebut.
BACA JUGA:Faktor Domestik Picu Inflasi Ini Buat Rupiah Terkapar di Awal Pekan
BACA JUGA:Sentimen Suku Bunga Pengaruhi Nasib Rupiah di Awal Pekan, Perkasa atau Lanjut Tak Berdaya?
Angka tersebut juga muncul setelah pejabat The Fed John Williams dan Raphael Bostic mengatakan bank sentral perlu melakukan lebih banyak upaya memenuhi target bank sebesar 2 persen.
“Komentar yang muncul pasca serangkaian peringatan serupa dari pejabat (The Fed) lain, menambah keraguan The Fed akan mulai memangkas suku bunga acuan pada awal tahun 2024,” terang Ibrahim dalam riset harian, Kamis (29/2/2024).
Selain itu, anggota BOJ Hajime Takata mengatakan bahwa bank sentral harus mempertimbangkan jalan keluar dari kebijakan ultra-longgarnya.