Keberadaan kakek ini yang sudah lama berjualan di sekitar Mall Paragon menunjukkan betapa mengerikannya dampak dari tindakan aparat terhadap kehidupan sehari-hari warga.
BACA JUGA:Sekda Sumsel Edward Candra Pimpin Rapat Penanggulangan Aktivitas Judi Online
Penggunaan gas air mata dan kembang api di area yang padat dengan aktivitas sosial.
Seperti tempat jualan kakek tersebut, menandakan kurangnya pengawasan dan pertimbangan dalam penanganan demonstrasi.
Kasus ini menjadi sorotan publik dan mengundang kecaman luas terhadap tindakan kepolisian yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip perlindungan dan keselamatan masyarakat.
Kejadian ini menggarisbawahi perlunya evaluasi menyeluruh terhadap prosedur pengendalian massa serta pendekatan yang lebih manusiawi dalam menangani situasi-situasi kritis.
BACA JUGA:Megawati Siap Mengumumkan Cagub Jakarta 2024, Djarot : Sabar Sedikit, Tunggu 1 Atau 2 Hari Lagi...
BACA JUGA:Nama Pranomo di Sebut-sebut Ketua PDIP untuk Maju Pilgub Jakarta 2024, Usai Dukung Anies Baswedan
Masyarakat kini menantikan langkah-langkah yang diambil oleh pihak berwenang untuk memastikan bahwa kejadian serupa tidak terulang di masa depan dan memberikan keadilan bagi semua korban.
Termasuk kakek yang sudah lama menjadi bagian dari komunitas di sekitar Mall Paragon.
Kericuhan terjadi usai ribuan massa yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, dan warga menggelar aksi demonstrasi di depan Balai Kota Semarang pada Senin, 26 Agustus 2024.
Aksi ini merupakan bagian dari gelombang protes serentak di berbagai kota besar di Indonesia, dengan tuntutan utama agar Presiden Joko Widodo diadili dan dilengserkan.
Menurut laporan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang, hingga pukul 22.00 WIB, tercatat sudah ada 33 korban kekerasan yang dilarikan ke rumah sakit akibat bentrokan antara peserta aksi dan aparat kepolisian.
Aksi kekerasan tersebut diduga dilakukan oleh oknum polisi yang bertindak represif dalam menghadapi massa.
BACA JUGA:Gempa berkekuatan 5,8 magnitudo mengguncang wilayah Gunungkidul, BMKG