Langkah ini dipuji sebagian orang sebagai penyelamat dari konflik politik.
Tapi di sisi lain justru memicu pembentukan sistem Demokrasi Terpimpin, di mana kekuasaan eksekutif sangat dominan.
Dalam sistem ini, Soekarno memiliki kontrol penuh atas pemerintahan dan sering kali diidentikkan dengan seorang diktator yang tidak memberikan ruang bagi oposisi politik.
3. Menahan Lawan Politik Tanpa Bukti
Bukan rahasia lagi jika Soekarno mulai menahan lawan-lawan politiknya, termasuk tokoh-tokoh besar seperti Sultan Syahrir, Mohammad Roem, Anak Agung Gede Agung, Prawoto Mangkusasmito dan beberapa tokoh lainnya.
Mereka dituduh terlibat dalam konspirasi melawan negara dan percobaan pembunuhan, namun tuduhan ini tidak pernah terbukti secara hukum.
Langkah ini semakin memperkuat anggapan bahwa Soekarno tidak toleran terhadap oposisi dan semakin otoriter dalam menjalankan pemerintahannya.
4. Ingkar Janji kepada Aceh
Aceh yang dikenal sebagai daerah dengan ketaatan tinggi terhadap syariat Islam, awalnya mendukung Soekarno.
Bahkan, Daud Beureueh yakni pemimpin Aceh saat itu, berjuang bersama Soekarno demi berdirinya NKRI.
Namun, hubungan keduanya mulai merenggang setelah Soekarno dianggap ingkar janji.
Pada awalnya, Bung Karno memaksa Aceh untuk bergabung NKRI dan berjanji akan memberikan keistimewaan kepada Aceh untuk mengatur wilayahnya berdasarkan syariat Islam, namun janji ini tidak pernah terwujud.
Akibatnya, Daud Beureueh bergabung dalam gerakan DI/TII dan melakukan perlawanan terhadap pemerintahan pusat.
5. Skandal dengan Hartini
Kisah cinta segitiga antara Soekarno, Hartini, dan suami Hartini yang masih sah kala itu sempat menjadi perbincangan panas.
Skandal ini bahkan sempat membuat Bung Tomo, pahlawan pertempuran Surabaya, marah besar.