BACAKORAN.CO – Rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persem menjadi 12 persen pada 2025 menuai kritik
Lantarannya, kebijakan ini dianggap berpotensi turunkan daya beli masyarakat, terutama di tengah pemulihan ekonomi pasca-pandemi.
Pengusaha sektor ritel, misalnya, mendesak pemerintah untuk menunda kenaikan tarif tersebut.
Mereka menilai kebijakan ini akan semakin melemahkan konsumsi masyarakat dan memperburuk kinerja ritel yang dalam setahun terakhir mengalami kelesuan.
BACA JUGA:Gambar Garuda Biru Kembali Viral, Tolak Rencana PPN 12%, Ini Kata Anak Buah Sri Mulyani!
BACA JUGA:Bebas PPN 12 persen! Ini Daftar Barang dan Jasa yang Bikin Kantong Tetap Sehat di 2025
"Kenaikan PPN jelas akan berdampak langsung pada harga barang dan jasa. Konsumen akan semakin menahan belanja, dan ini akan memukul sektor ritel," ujar seorang perwakilan asosiasi ritel.
PPN Indonesia Akan Jadi yang Tertinggi di Asia Tenggara
Jika tarif PPN mencapai 12 persen, Indonesia akan menyamai Filipina sebagai negara dengan tarif tertinggi di ASEAN.
Sebagai perbandingan, Vietnam menetapkan tarif PPN 10 persen, Singapura 9 persen, dan Thailand hanya 7 persen.
BACA JUGA:Sri Mulyani Pastikan PPN 12 Persen Berlaku Januari 2025, Kaum Mendang Mending Makin Sekarat
Di Malaysia, pajak penjualan dikenakan sebesar 10 persen sementara pajak jasa hanya 8 persen.
Di tingkat global, China menetapkan PPN mulai dari 6 - 13 persen, tergantung pada jenis barang dan jasa.
Dengan tarif baru, Indonesia berisiko kehilangan daya saing regional.