Sebelumnya, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Mayarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti menanggapi ramainya kabar transaksi uang elektronik akan kena PPN 12 persen tahun 2025.
Ia menegaskan bahwa pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) pada transaksi keuangan elektronik bukan objek pajak baru.
“Perlu kami tegaskan bahwa pengenaan PPN atas jasa layanan uang elektronik sudah dilakukan sejak berlakunya UU PPN Nomor 8 Tahun 1983 yang berlaku sejak 1 Juli 1984, artinya bukan objek pajak baru,” katanya di Jakarta.
Adapun aturan lengkap tentang transaksi keuangan elektronik dapat dilihat di Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 69 Tahun 2022.
Dalam peraturan ini, diketahui layanan yang dikenakan PPN meliputi uang elektronik, dompet elektronik, gerbang pembayaran, switching, kliring, penyelesaian akhir, dan transfer dana.
PPN dikenakan pada biaya layanan atau komisi yang dibebankan kepada penyelenggara, seperti biaya registrasi, top-up, pembayaran transaksi, transfer dana, dan tarik tunai untuk uang elektronik.
PPN juga berlaku pada layanan dompet elektronik, termasuk pembayaran tagihan dan paylater, serta biaya merchant discount rate (MDR).
Namun, nilai uang elektronik, saldo, bonus point, reward point, dan transaksi transfer dana murni tidak dikenakan PPN.
Sedangkan, ketika seseorang hanya mentransfer uang atau menggunakan saldo tanpa biaya tambahan, maka tidak ada PPN yang dikenakan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator (Menko) Bidang Pangan Zulkifli Hasan bantah beras premium ikut dipungut pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen.
"Beras khusus maksudnya, beras khusus (yang dipungut PPN 12 persen). Jadi, (beras) premium, medium, enggak. Gak ada (dipungut PPN) 12 persen," tegas sang menko.
Pria yang akrab disapa Zulhas itu menegaskan bahan pangan, termasuk beras, tak ikut terdampak kenaikan pajak.
Meski begitu, beras premium sempat diumumkan dalam daftar barang mewah terkena PPN 12 persen.