Viral Dirty Vote: Film yang Menggugat Kecurangan Pemilu 2024
Viral Dirty Vote: Film yang Menggugat Kecurangan Pemilu 2024.gbr ilustrasi bacakoran--
BACAKORAN.CO - Dirty Vote: Film yang Menggugat Kecurangan Pemilu 2024. Pemilu 2024 menjadi ajang perebutan kekuasaan antara dua kubu besar, yaitu Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming (Pragi) dan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin).
Namun, di balik persaingan yang sengit itu, ada banyak kecurangan yang terjadi secara terstruktur, sistematis, dan masif.
Hal itu terungkap dalam film dokumenter berjudul Dirty Vote, yang dirilis pada Minggu, 11 Februari 2024.
Film ini dibintangi oleh tiga ahli hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar, Bivitri Susanti, dan Feri Amsari.
Film ini disutradarai oleh Dandhy Laksono, yang juga dikenal sebagai pembuat film Sexy Killers.
BACA JUGA:Bawaslu Siap Amankan Pemilu 2024: Jumlah TPS Dekat Posko Tim Pemenangan Jadi Perhatian Serius
Dalam film ini, ketiga ahli hukum tersebut membeberkan lima jenis kecurangan yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berkepentingan untuk memenangkan Pragi, yang didukung oleh Presiden Jokowi.
Lima jenis kecurangan itu adalah:
1. Keterlibatan presiden dalam merencanakan strategi dan menggerakkan lembaga-lembaga negara untuk memenangkan Pragi.
Presiden Jokowi diduga ingin melanjutkan dinastinya melalui putranya, Gibran, yang menjadi cawapres Prabowo.
2. Keterlibatan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam meloloskan pencalonan Gibran sebagai cawapres, meskipun tidak memenuhi syarat.
MK dan KPU diduga telah menerima tekanan dan imbalan dari pihak-pihak tertentu untuk mengubah aturan dan hasil verifikasi.
3. Keterlibatan aparat negara, mulai dari menteri, gubernur, bupati/wali kota, hingga kepala desa dalam mengampanyekan dan memobilisasi pemilih untuk memilih Pragi.
Aparat negara tersebut diduga telah menyalahgunakan wewenang dan sumber daya negara untuk kepentingan politik.
4. Politisasi bantuan sosial (Bansos) yang menggunakan uang negara untuk mempengaruhi pemilih.
Bansos yang seharusnya diberikan secara netral dan adil, malah dijadikan alat untuk membeli suara dan mengintimidasi pemilih.