GPN & QRIS Bikin Visa-Mastercard ‘Nangis’? Amerika Protes, Bilang Begini!

Perwakilan dagang Amerika Serikat (AS) yakni USTR soroti kebijakan sistem pembayaran GPN dan QRIS di Indonesia yang hambat Visa dan Mastercard.--istimewa
BACAKORAN.CO – Sistem pembayaran dalam negeri Indonesia ternyata bikin Amerika Serikat (AS) gerah.
Lewat laporan resmi Perwakilan Dagang AS (USTR), Negeri Paman Sam menyoroti keras kebijakan QRIS (Quick Response Indonesia Standard) dan GPN (Gerbang Pembayaran Nasional) yang digagas Bank Indonesia (BI).
Dua kebijakan ini dinilai menjadi batu sandungan besar bagi raksasa pembayaran asing, termasuk Visa dan Mastercard.
Dalam laporan “National Trade Estimate Report 2025” yang dirilis akhir Februari lalu, AS menyampaikan jika aturan BI terkait GPN secara tegas mewajibkan transaksi kartu debit dan kredit domestik hanya bisa diproses oleh lembaga switching lokal berizin BI.
BACA JUGA:Gak Ribet! Begini Cara Bayar Tol Pakai QRIS Tanpa Kartu, Cuma Modal HP!
BACA JUGA:Bayar Pakai QRIS Akan Dikenakan PPN 12 Persen, Begini Faktanya
Tak hanya itu, kepemilikan asing dibatasi maksimal 20 persen, yang praktis membatasi langkah perusahaan asing untuk bermain di ekosistem pembayaran nasional.
“Perusahaan asing hanya boleh ikut serta lewat mitra lokal yang berlisensi GPN dan mendapatkan persetujuan dari BI, yang mensyaratkan dukungan terhadap industri nasional termasuk transfer teknologi,” tulis USTR dalam laporannya.
Tak berhenti di GPN, AS pun mengkritisi kebijakan QRIS yang menurut mereka tidak melibatkan pemangku kepentingan internasional dalam proses perumusannya.
Mereka menganggap minimnya konsultasi ini membuat sistem QRIS tidak mempertimbangkan kompatibilitas dengan sistem pembayaran global yang sudah berjalan.
BACA JUGA:Tak Lagi Khawatir Belanja, QRIS Transaksi Kecil Nominal Segini Bebas PPN, Simak Aturan Lengkapnya!
BACA JUGA:Viral di Medsos, Aksi Seorang Pria Mencuri HP di Warung Kelontong Bogor: Modus Bayar Pakai QRIS!
AS pun menyinggung aturan lanjutan BI dalam Cetak Biru Sistem Pembayaran 2025 yang membatasi kepemilikan asing untuk perusahaan pembayaran nonbank (front-end) hingga 85 persen, namun hak suara maksimal hanya 49 persen.
Sementara perusahaan back-end malah dibatasi lebih ketat--maksimal 20 persen.