PM Denmark Larang Cadar dan Tutup Musala di Kampus: Demokrasi vs Kebebasan Beragama?

Perdana Menteri Denmark kembali memicu kontroversi setelah mengumumkan rencana baru yang dinilai membatasi kebebasan beragama di negara Skandinavia.--
“Musala sering kali dijadikan alat kendali sosial yang dapat menindas perempuan, dan mungkin juga laki-laki,” kata Frederiksen.
Ia juga menambahkan bahwa dirinya, sebagai perempuan dan pemimpin negara, tidak akan mentoleransi bentuk penindasan apa pun atas nama agama.
Namun, ia juga mengakui bahwa belum ada data pasti mengenai seberapa besar praktik penindasan tersebut terjadi di musala kampus.
Meski demikian, Frederiksen tetap mengambil posisi tegas menentang keberadaan musala di lembaga pendidikan.
Rencana ini langsung menuai gelombang kritik dari berbagai kelompok, terutama aktivis hak asasi manusia dan organisasi keagamaan.
Mereka menilai langkah pemerintah Denmark sebagai bentuk diskriminasi sistemik terhadap komunitas Muslim, khususnya perempuan.
BACA JUGA:Dorong Pemerataan Industri, Kemenperin Siapkan Regulasi Baru Kawasan Industri Tertentu
“Ini jelas merupakan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan hak perempuan untuk memilih cara berpakaian,” ujar salah satu perwakilan Amnesty International Denmark.
Banyak juga yang menilai bahwa narasi Frederiksen hanya akan memperdalam jurang antara kelompok mayoritas dan minoritas, serta menciptakan stigma negatif terhadap Islam.
Kebijakan ini memunculkan pertanyaan besar: sampai sejauh mana negara boleh mencampuri urusan pribadi warganya atas nama demokrasi?
Apakah integrasi sosial harus dibayar dengan mengorbankan hak-hak individu?
BACA JUGA:Mengkhawatirkan, DPR Desak Bahlil untuk Stop Aktifitas Tambang di Raja Ampat: Hentikan Permanen!