bacakoran.co - dalam islam adalah perbuatan dosa besar yang merobek ikatan nikah dan menimbulkan dampak sosial dan etika yang serius.
salah satu isu yang sering muncul adalah bagaimana status yang lahir dari hubungan selingkuh (non-nikah) ketika sang ibu masih memiliki suami yang sah.
apakah anak itu punya hak nasab (keturunan), hak waris, atau hak nafkah dari ayah biologisnya?
pandangan umum dalam hukum islam
melansir dari video tiktok @rifkyjafar.thalib, dalam diskursus fikih dan fatwa mui, anak hasil (hubungan di luar nikah) memiliki status khusus.
fatwa mui menyebutkan bahwa anak tersebut tidak memiliki hubungan nasab, waris, atau wali nikah dari laki-laki yang mengakibatkan kelahirannya.
artinya, dalam pandangan tradisional hukum islam, anak yang lahir dari hubungan zina:
- tidak dinasabkan kepada ayah biologisnya (hubungan keturunan terputus secara hukum)
- tidak mewaris dari ayah biologisnya atau keluarga ayah
- tidak mempunyai hak wali atau pengakuan nasab dari ayah biologis
- hanya berhubungan secara sah dengan ibu dan keluarga ibu
namun, meski demikian, anak tetap berhak mendapatkan hak dasar seperti kebutuhan hidup, pendidikan, pemeliharaan yang harus dipenuhi oleh pihak laki-laki yang menyebabkan (ayah biologis), meski tidak melalui hubungan nasab formal, tetapi melalui tanggung jawab moral atau sosial menurut sebagian ulama dan interpretasi kontemporer.
teori nasab dan putusan khi
dalam kompilasi hukum islam (khi) di indonesia, pasal-pasal tertentu mengatur anak yang lahir di luar nikah.
pasal 100 khi menyatakan:
“anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya.”
sedangkan pasal 186 khi menegaskan bahwa anak luar nikah hanya saling mewarisi dengan ibu dan pihak ibu.
secara praktis, ini berarti anak hasil selingkuh tidak otomatis mewarisi harta dari ayah biologis menurut khi.
relevansi pemikiran ustadz rifky ja’far thalib
meski saya belum menemukan pernyataan eksplisit ustadz rifky ja’far thalib mengenai “anak hasil selingkuh”, beliau sering menyampaikan tema moral dan konsekuensi perselingkuhan dalam tausiyahnya.
ia menekankan bahwa perselingkuhan memberi luka sosial dan spiritual pada keluarga, dan menegaskan perlunya tanggung jawab, baik dalam moral maupun konsekuensi nyata terhadap pihak yang dirugikan.
jika beliau pernah menyebut bahwa sang ayah biologis wajib menanggung beban kebutuhan anak meskipun tidak ada nasab formal, maka itu dapat diinterpretasikan sebagai penerapan tanggung jawab sosial di atas teks hukum klasik.
anak hasil zina (selingkuh) dalam hukum islam klasik umumnya tidak memiliki hubungan nasab atau hak waris dari ayah biologis, dan hanya dihubungkan kepada ibu dan keluarga ibu.
namun kewajiban moral ayah biologis tetap menjadi perhatian dalam berbagai ijtihad kontemporer: meskipun tidak diikat hukum nasab, tanggung jawab nafkah dan pemeliharaan dapat dianggap wajib secara etik.
jika ustadz rifky ja’far thalib pernah menyampaikan bahwa ayah biologis tetap bertanggung jawab, hal itu lebih ke arah pendekatan moral dan dakwah, bukan perubahan istinbath hukum.
bagi masyarakat indonesia, putusan mahkamah konstitusi dan pengaturan hukum perdata memberikan ruang bahwa anak luar nikah dapat memiliki relasi keperdataan dengan ayah biologis jika dibuktikan meskipun itu tidak mengubah status nasab menurut hukum islam klasik.