Karena apa? Karena pemerintahnya memiskinkan rakyatnya sendiri," ucapnya dengan nada tajam.
Bunda Corla, yang kini menetap dan bekerja di Jerman, menjelaskan bahwa usia seharusnya bukanlah parameter utama dalam menilai potensi seseorang.
Baginya, kesempatan kerja seharusnya diberikan berdasarkan kemampuan dan semangat individu. "Bagaimana manusia bisa berkembang dengan hidupnya, bagaimana bisa maju dengan ekonomi, itulah pepatah yang kaya makin kaya yang miskin makan t*i," ujarnya dengan penuh semangat.
Argumentasinya menciptakan pemikiran mendalam tentang relevansi batas usia dalam dunia kerja yang terus berkembang.
BACA JUGA:Pengangguran Berkurang Dengan Aplikasi Game Penghasil Saldo DANA Jutaan Rupiah
Pertanyaan penting muncul: apakah batas usia kerja benar-benar mencerminkan potensi seorang?
Dalam konteks Indonesia, di mana tradisi bertabrakan dengan tuntutan zaman, pertanyaan ini semakin mendesak.
Serta kebijakan batas usia yang masih dipegang teguh oleh Indonesia.
Apakah negara ini akan terus mempertahankan norma lama, ataukah saatnya melibatkan perspektif baru untuk menciptakan lapangan kerja yang lebih inklusif?
Dengan mengikuti jejak pernyataan Bunda Corla, kita diajak untuk merenung tentang arah ketenagakerjaan di Indonesia.
Diskusi mengenai batas usia kerja bukan hanya sekadar perdebatan angka, tetapi juga mencakup pertanyaan mendalam tentang keadilan, peluang, dan kesiapan menghadapi perubahan.
BACA JUGA:Akali Pengangguran, Game Penghasil Uang Saldo DANA Jutaan Rupiah Dalam Sebulan Gaji UMR
Artinya, kita perlu melampaui batas usia untuk melihat potensi sejati manusia, dan Indonesia mungkin perlu mempertimbangkan langkah serupa untuk menciptakan masyarakat yang lebih dinamis dan inklusif.(*)