Melihat Kampung Siabang, Sentra Iwak Asin Palembang, 5 Menit dari Pusat Kota..

Minggu 10 Mar 2024 - 09:09 WIB
Reporter : Yudi
Editor : Yudi

BACAKORAN.CO - Hiruk pikuk kota mengiringi perjalanan kami menuju Kampung Sentra Ikan Asin Palembang (Siabang). 

Terletak di Lorong Keramat, Kelurahan 5 Ulu, Kecamatan Seberang Ulu I kota Palembang.

kampung Siabang adalah tempat pembuatan ikan asin terbesar sekaligus tertua di kota pempek.

Akses jalan menuju kampung Siabang terbilang sempit.

BACA JUGA:HEBOH! Karyawati Tewas Digorok di Lobby Mal Central Park

Hanya berukuran lebar 2 meter dan hanya bisa dilalui oleh kendaraan bermotor roda dua. 


Kampung Sentra Ikan Asin Palembang (Siabang) --

Melalui jalan setapak beton, kami melaju lambat dengan kecepatan sekitar 20 kilometer per jam. 

Warga sekitar memandang rombongan kami dengan wajah asing, banyak yang bertanya tujuan perjalanan kami.

Setelah beberapa pertanyaan, kami berhasil menemukan pusat pembuatan ikan asin tertua di Palembang.

BACA JUGA:Modus Toko Emas, Pasutri Tipu Puluhan Pengrajin Miliaran Rupiah, Simak Kasusnya?

Di persimpangan gang, terlihat beberapa empang dengan ukuran panjang sekitar 10 meter. 

Empang merupakan tempat menjemur ikan asin yang terbuat dari waring ikan dengan patok penahan bambu.

Jenis ikan yang diasinkan di kampung Siabang adalah Kepala Batu dan ikan Beles, yang biasa dikenal sebagai Bader Merah.

Proses pengasinan dilakukan dalam kurun waktu satu malam.

BACA JUGA:Catat! 9 Golongan Orang yang Diperbolehkan Tidak Puasa, Siapa Saja? Begini Penjelasan Buya Yahya...

Dengan menggunakan baskom berukuran sedang, garam diaduk hingga larut merata dengan badan ikan.

Ikan kemudian dijemur di empang saat fajar, sekitar pukul 04.00 WIB, dan diangkat saat ikan asin sudah kering.

Gadis (50), salah satu warga yang menggeluti usaha ikan asin, menerima kedatangan kami dengan ramah. 

Dia telah bergelut dengan ikan asin selama lebih dari 20 tahun.

BACA JUGA:Deklarasi Bersama Srikandi TP Sriwijaya: Ajak Perempuan untuk Jadi Komitmen Indonesia Damai

“Sejak anak saya kecil, mungkin sudah 20 tahun lebih,” ujarnya.

Gadis, wanita berbaju merah dengan rambut kuncir satu yang berwarna biru, menceritakan kesulitan dalam penjemuran ikan terutama ketika turun hujan.

"Kalau hujan, kami kadang rugi, karena ikan jadi basah. Sampai ulatan dan pengasinan gagal," katanya.

BACA JUGA: Jangan Salah! Bukan Menteri Agama Atau Pemerintah yang Menentukan Awal Ramadan, Ini Penjelasannya

Selama proses pembersihan ikan, Gadis dibantu oleh warga setempat dengan memberi upah sekitar Rp. 5.000 per baskomnya.

 

Kategori :