BACAKORAN.CO - Pengamat politik dari Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), Titi Anggraini, memberikan pandangan kritis tentang fenomena rekrutmen artis sebagai calon kepala daerah (Cakada) dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Menurutnya, tren ini menunjukkan bentuk diskriminasi terhadap anak muda.
Menggunakan artis sebagai "senjata politik" memang bukan hal baru di Indonesia.
Namun, Titi menilai narasi ini cenderung meremehkan peran dan potensi generasi muda dalam politik.
BACA JUGA:Selamatan Uang Negara Rp 2,477 Milyar, Tegaskan Jika Kasus Bawaslu Belum Selesai
"Artis tidak serta-merta bisa membeli pengaruh orang muda. Anak muda sekarang cenderung lebih akrab dengan teknologi dan informasi," ujar Titi saat diwawancarai di Kantor KemenPPPA, Jakarta, 9 September 2024.
Tren mengandalkan popularitas artis untuk menarik perhatian pemilih muda dianggap tidak menghormati kecerdasan dan kemampuan politik anak muda.
"Memanfaatkan artis dengan tujuan menguasai pilihan politik generasi muda adalah bentuk pelecehan terhadap kecerdasan politik mereka," tegas Titi.
Dia juga menyebutkan bahwa artis yang langsung dicalonkan dalam Pilkada sering kali tidak melalui proses kaderisasi atau internalisasi nilai-nilai partai.
Hal ini membuat mereka mengalami "political shock," seperti halnya culture shock.
"Banyak artis yang tiba-tiba masuk dunia politik tanpa pengalaman dan keahlian yang memadai," tambahnya.
Titi menegaskan, siapa saja berhak masuk dunia politik, termasuk artis, dosen, aktivis, atau teknokrat.