Namun, masalahnya adalah banyak artis yang direkrut hanya karena popularitasnya, bukan karena kemampuan atau integritas politiknya.
"Artis sering kali dieksploitasi demi kepentingan elektoral saja," ujarnya.
Menurut Titi, yang menjadi persoalan adalah banyak artis yang dipakai hanya untuk mendulang suara tanpa memiliki kemampuan menjalankan pemerintahan dengan baik.
“Banyak dari mereka yang setelah terpilih justru merasa tidak nyaman dengan jabatan yang dimenangkan, karena tidak pernah benar-benar siap,” jelasnya.
Banyak artis yang mengalami kegagapan politik setelah terjun ke dunia pemerintahan.
Titi menyebut, “Mereka harus belajar berurusan dengan birokrasi, pemerintahan, dan aktor-aktor politik yang sama sekali berbeda dari dunia hiburan.”
Hal ini membuat kinerja mereka tidak terlalu menonjol dan sering kali gagal mencapai tujuan pemerintahan yang sebenarnya.
Maka tak heran, kinerja para artis yang menjadi politikus dadakan sering kali tidak maksimal dan tidak terlalu bisa berkontribusi bagi kemajuan daerah yang dipimpinnya.
“Artis hanya jadi jalan pintas untuk partai-partai yang ingin meraih kemenangan cepat dengan memanfaatkan popularitas dan pengaruh mereka di masyarakat,” pungkas Titi.
BACA JUGA:Pemprov DKI Jakarta Siap Uji Coba Program Makan Bergizi Gratis di SMA Minggu Depan!
Titi berharap tren ini menjadi refleksi bagi partai politik untuk lebih menghargai potensi anak muda dalam politik.