Membongkar Penyebab Lambatnya Penurunan Stunting di Indonesia
Para ahli gizi dan mitra bersama-sama dalam urun rembuk membahas dampak konsumsi kental manis pada balita serta langkah-langkah edukatif untuk mengatasi stunting di Indonesia. Foto: Ilustrasi--
BACA JUGA:Kuliner Sederhana yang Tak Lekang Zaman! Resep Orak-Arik Tauge dan Telur yang Lezat dan Bergizi
“Selama ini narasi mengatasi stunting adalah dengan ASI ekslusif. Ibu itu bukannya tidak mau memberikan ASI ekslusif untuk anaknya, tapi karena tidak mampu, karena bekerja, karena kondisi kesehatan dan ibu meninggal.
Anak-anak yang tidak mendapat ASI ekslusif ini larinya ke kental manis,” jelas Yuli membeberkan temuan-temuannya saat berdialog dengan masyarakat.
Roesmarni Rusli, dari Repdem dalam kesempatan itu mempertanyakan mekanisme pengawasan peredaran produk dengan kandungan gula yang tinggi di masyarakat.
“Produk kental manis ini berdasarkan PerBPOM NO 31 th 2018, sudah di atur bahwa pada labelnya tidak boleh menyertakan kata susu, seharusnya di tulis krimer kental manis.
BACA JUGA:Pisang Buah Populer yang Menghidupkan Gizi dan Kebudayaan
Sekarang, kalau kita lihat, pad akemasan kental manis kembali lagi mencantumkan susu kental manis, ini apakah BPOM kembali merubah peraturannya atau memang tidak ada pengawasan terhadap ini?” tanya Roesmarni.
Penata kependudukan dan KB ahli madya Dr Maria Gayatri SSi MAPS yang turut hadir dalam kesempatan itu mengakui, persoalan kental manis seharusnya mendapat perhatian lebih.
“Susu kental manis ini jarang sekali dibahas di BKKBN, nanti akan disampaikan ke pimpinan,” ujar Maria.
Lebih lanjut, ia mengatakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) saat ini sedang melakukan audit kasus stunting. Hal ini untuk mengetahui faktor-faktor resiko penyebab stunting.
BACA JUGA:7 Jenis Ikan dengan Protein Tinggi Baik untuk Kesehatan dan Gizi, Sudah Tahu?
Dokter anak RS Mayapada dr. Kurniawan Satria Denta, M.Sc, Sp.A yang turut hadir dalam kesempatan itu mengatakan salah satu kunci mencegah stunting adalah kualitas protein yang diberikan untuk anak.
“Protein yang paling baik adalah protein hewani, telur, ikan susu, ini jenis protein hewani yang tersedia di sekililing kita,” jelas dr. Denta.
Selain itu, ia juga menyoroti masifnya informasi yang beredar di masyarakat juga memicu pola makan yang salah pada anak.
“Di tiktok saya lihat, ada ibu-ibu memberikan kental manis untuk anak yang belum 1 bulan. Saat ibu ibu lain melihat dan mereka tidak dibekali edukasi gizi yang cukup, bisa saja dia meniru perilaku ini. Ini menurut saya juga harus di atasi,” tegasnya.