BACAKORAN.CO – Rupiah melanjutkan tren penguatan pada pekan ini.
Nilai tukar mata uang garuda ditutup menguat 62 poin atau 0,40 persen ke posisi Rp15.492 per USD pada penutupan perdagangan Jumat (17/11/2023).
Sementara, kurs referensi Bank Indonesia (BI) Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) menempatkan rupiah di level Rp15.504 per dolar USD pada perdagangan sore ini.
Mata uang di kawasan Asia pun mayoritas ditutup di zona hijau.
BACA JUGA:Rupiah Sikat Dolar AS, Ini Penjelasan BI
Won Korea Selatan naik 0,04 persen, ringgit Malaysia melesat 0,06 persen, yen Jepang terbang 0,23 persen, dolar Hong Kong plus 0,06 persen, dan peso Filipina meroket 0,17 persen.
Sedangkan pelemahan dialami rupee India yang minus 0,01 persen, yuan China jatuh 0,03 persen, dan dolar Singapura turun 0,07 persen.
Di lain sisi, mata uang negara maju kompak ditutup di zona merah.
Euro Eropa turun 0,23 persen, poundsterling Inggris minus 0,25 persen, franc Swiss jatuh 0,08 persen, dolar Australia merosot 0,05 persen dan dolar Kanada amblas 0,09 persen.
BACA JUGA:Rupiah Bak Roller Coaster, Saatnya Beli atau Jual Dolar?
Menurut Pengamat Komoditas dan Mata Uang Lukman Leong, rupiah menguat imbas sederet pelemahan data ekonomi yang menurunkan ekspektasi suku bunga Bank Sentral Amerika Serikat (AS).
"Rupiah menguat terhadap dolar Amerika Serikat di tengah menurunnya prospek suku bunga The Fed menyusul serangkaian data ekonomi yang lebih lemah," ujarnya.
Sebelumnya, Direktur Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi mengatakan, perhatian pasar tertuju pada data inflasi indeks harga konsumen utama (CPI) AS yang diperkirakan menunjukkan penurunan inflasi hingga Oktober.
BACA JUGA:Tren Berlanjut, Rupiah Dibuka Perkasa ke Rp15.576
“Setelah inflasi meningkat melampaui ekspektasi selama dua bulan terakhir," terang Ibrahim.
Hal itu seiring dengan proyeksi para petinggi Bank Sentral AS yang memperingatkan bahwa inflasi tinggi akan menjadi dorongan untuk menaikkan suku bunga lebih lanjut dan diprediksi melemahkan aset-aset berisiko.
Di lain sisi, kekhawatiran pasar terhadap ekonomi Tiongkok juga membebani sentimen regional.
Pasalnya, data menunjukkan perlambatan lebih lanjut dalam aktivitas pinjaman di negara tersebut hingga Oktober 2023.
BACA JUGA:Keperkasaan Rupiah Kemungkinan Berlanjut Pekan Depan
Likuiditas Negeri Tirai Bambu pun mengalami penurunan meskipun ada langkah-langkah stimulus baru dari pemerintah.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI) Edi Susianto menerangkan, penguatan rupiah ditopang oleh kabar baik dari AS.
Baru saja diumumkan inflasi AS turun dari 3,7 persen menjadi 3,2 persen pada Oktober 2023.
Hal itu mendorong sentimen bahwa Bank Sentral AS tidak akan menaikkan FFR.
BACA JUGA:Rupiah Ditutup Stabil Menguat, Paling Perkasa di Asia
Pada Oktober 2023, inflasi AS masih berada di angka 3,7 persen (yoy) atau jauh di bawah target bank sentral di kisaran 2 persen.
The Fed pada akhirnya memilih untuk menahan suku bunga di level 5,25-5,50 persen.
Situasi ini akan mendorong aliran modal kembali ke negara berkembang.
“Hampir seluruh mata uang global kini menguat terhadap dolar AS,” tukasnya.