Tetapi Gus Dur tidak melakukan tindakan kriminal, tidak terlibat korupsi, dan tidak terlibat tindakan-tindakan yang inkonstitusional.
“Itu (harus) direhabilitasi,” ujarnya.
Dia pun menekankan jasa Gus Dur dalam mempertahankan pluralisme serta mencairkan hubungan agama dan negara.
Pertimbangan itu yang menjadi alasan yang kuat bagi PKB untuk merekomendasikan pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/2021.
Sebelumnya, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dinilai sedang berupaya mengembalikan pamor politik lembaga negara itu lewat sejumlah manuver.
BACA JUGA:Hasil Laga Lawan Bahrain dan China Menjadi Penentu Nasib Timnas Indonesia
Hal tersebut termasuk pencabutan nama presiden-presiden terdahulu dari 'dosa' yang tertuang dalam Ketetapan (TAP) MPR.
Ketua MPR RI periode 2019-2024 Bambang Soesatyo sebelumnya mengumumkan pencabutan TAP MPR Nomor II/MPR/2001 tentang pemberhentian Abdurrahman Wahid alias Gus Dur selaku Presiden keempat RI dalam Sidang Paripurna pada Rabu (25/9) kemarin.
Dalam kesempatan yang sama, MPR turut mencabut nama Presiden kedua RI Soeharto dari TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).
MPR juga menyetujui pencabutan TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang pencabutan kekuasaan pemerintah negara dari Presiden Sukarno.
Lewat pencabutan itu, Sukarno dinilai tidak terbukti melindungi Partai Komunis Indonesia (PKI).
Selain itu, MPR juga mengambil langkah baru dengan ketentuan seluruh pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI mendatang bakal ditetapkan melalui TAP MPR.
Tak seperti sebelumnya yang hanya ditulis di berita acara, dalam sidang akhir masa jabatannya MPR juga merekomendasikan agar wacana amandemen UUD 1945.
Kelimanya dapat dilanjutkan oleh DPR periode 2024-2029, Anggota Constitutional and Administrative Law Society (CALS) Herdiansyah Hamzah 'Castro' menilai pelbagai manuver itu sengaja dilakukan MPR di penghujung masa jabatan periode 2019-2024.