BACAKORAN.CO - Belakangan ini, masyarakat Indonesia dikejutkan dengan perdebatan seputar kehalalan pewarna makanan alami yang dikenal dengan nama Karmin.
Karmin adalah pewarna merah yang diperoleh dari ulat, lebih tepatnya ulat yang hidup di kaktus.
Pewarna ini banyak digunakan dalam industri makanan, minuman, kosmetik, hingga produk-produk lain.
Namun, kehalalannya menjadi kontroversial, terutama terkait dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan bahwa Karmin halal.
BACA JUGA:8 Saus Halal Super Enak, Murah dan Bebas Afiliasi Israel, Kuy Saatnya Boikot ABC & Jawara!
BACA JUGA:15 Rekomendasi Pasta Gigi Halal Bebas Afiliasi Israel, Aman Buat Keluarga, Pepsodent Boikot Dulu Ya!
Sementara beberapa pihak, seperti dari Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Timur, menyebutkan bahwa pewarna ini najis karena berasal dari bangkai ulat.
Lantas, bagaimana pandangan berbagai mazhab, terutama mazhab Syafi'i mengenai hal ini? Simak penjelasan lengkapnya.
Apa itu Karmin?
Karmin adalah pewarna alami yang diperoleh dari jenis serangga bernama Dactylopius coccus, yang sering ditemukan hidup pada tanaman kaktus di daerah tropis.
Serangga ini, yang sering disebut cochineal, diolah menjadi pewarna merah yang digunakan dalam berbagai produk, mulai dari makanan, minuman, kosmetik, hingga produk farmasi.
BACA JUGA:Stop Pakai Pepsodent! Ini 15 Rekomendasi Pasta Gigi Halal Tanpa Afiliasi Israel yang Wajib Kamu Coba
Namun, kehalalan penggunaan Karmin dalam makanan dan minuman menjadi kontroversial di kalangan umat Islam, terutama setelah beberapa organisasi keagamaan mengeluarkan pendapat yang berbeda.
Perbedaan Pendapat Najis atau Halal?
Dalam fatwanya, MUI (Majelis Ulama Indonesia) menyatakan bahwa pewarna Karmin halal digunakan, dengan alasan bahwa ulat Karmin memiliki darah yang tidak mengalir seperti halnya darah pada serangga lainnya.
Oleh karena itu, MUI berpendapat bahwa pewarna ini tidak dihukumi najis dan aman dikonsumsi oleh umat Muslim.