BACA JUGA:Haikal Hassan Resmi Jadi Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, Ini Profil Singkatnya
BACA JUGA:3 Kriteria Arisan Halal atau Haram Menurut Ustadzah Halimah Alaydrus, Muslimah Wajib Tau Nih
Namun, ada pandangan yang berbeda dari sebagian kalangan, termasuk dari NU Jawa Timur, yang menyatakan bahwa Karmin adalah najis.
Mereka beralasan bahwa pewarna ini berasal dari bangkai ulat yang telah mati, sehingga tidak layak untuk digunakan dalam makanan atau kosmetik menurut hukum Islam.
Pandangan Mazhab Syafi'i
Mazhab Syafi'i memiliki pendapat yang cukup ketat dalam hal kehalalan dan kebolehan mengkonsumsi produk yang berasal dari bangkai.
Menurut pandangan mazhab Syafi'i, jika suatu binatang mati tanpa disembelih (bangkai), maka itu hukumnya haram untuk dimakan atau digunakan, termasuk jika bangkai tersebut dari serangga seperti kutu atau ulat.
BACA JUGA:12 Rekomendasi Pasta Gigi Halal Bebas Afiliasi Israel yang Wajib Dicoba, Boikot Pepsodent Dulu Yach!
Namun, dalam konteks pewarna Karmin, pendapat ini masih bisa diperdebatkan, karena terdapat ulama yang menganggap bahwa pewarna yang dihasilkan dari binatang yang tidak mengalir darahnya.
Seperti ulat Karmin, bisa jadi tidak dihukumi najis, meskipun tetap harus diperhatikan apakah pengambilannya dilakukan dengan cara yang sesuai dengan syariat.
Apa Kata Buya Yahya?
Menurut beliau, dalam kasus seperti ini, kita harus menghindari kepentingan hawa nafsu dalam memilih pendapat.
Jika ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama, maka kita harus bijak memilih mana yang lebih mendekati kebenaran, sambil tetap menghormati pendapat yang lain.
BACA JUGA:Ngeri Kuota Bertambah, Tim-Tim Arab Halalkan Segala Cara Lolos ke Piala Dunia 2026
Buya Yahya menyarankan untuk berhati-hati dan memilih makanan yang tidak mengandung Karmin atau pewarna yang diragukan kehalalannya, jika memungkinkan.
Namun, beliau juga menekankan bahwa tidak perlu memaksakan pendapat sendiri dan menyerang pihak lain yang berbeda pendapat.