Menurutnya, hal ini justru berseberangan dengan kampanye pemerintah bersama Bank Indonesia yang ingin meningkatkan jumlah transaksi non-tunai.
Kemudahan bertransaksi dan mengurangi tindak pencucian uang juga dapat terhambat dengan adanya kebijakan kenaikan PPN ini.
"Kita diarahkan pemerintah untuk menggunakan transaksi non-tunai untuk kemudahan bertransaksi sehingga nanti konsumsi meningkat dan pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Kedua, kepentingan pemerintah untuk mengurangi tindakan pencucian uang hasil korupsi. Mekanisme pencucian uang kalau tunai itu cari buktinya sulit. Nah, kalau pakai non-tunai pasti ter-record," ujarnya.
Prof Rahmat juga memaparkan kenaikan PPN memiliki celah untuk menyasar kebutuhan sehari-hari masyarakat.
"Yang di luar pengecualian itu nggak cuma barang mewah, contoh deodoran, pasta gigi, dan sabun. Itu semua bukan barang mewah, tapi kita butuhkan sehari-hari dan kena PPN 12 persen tadi," jelas Prof Rahmat.
Selain itu, Prof Rahmat juga berpendapat jika kenaikan PPN 12 persen ini dapat meningkatkan jumlah pengangguran.
BACA JUGA:Banjir Penolakan! Pemerintahan Prabowo Tetap Kekeh Menaikkan Pajak PPN 2025, Ini Alasannya
"Kalau PPN naik, otomatis beban hidup masyarakat secara umum akan naik. Dampaknya ke daya beli masyarakat akan turun, sehingga konsumsi juga turun. Maka, akan terjadi penurunan produksi karena barang-barang yang diproduksi nggak ada yang konsumsi, sehingga nanti jumlah pengangguran akan meningkat," bebernya.