Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa mengatakan, penerbitan dua Peraturan OJK (POJK) ini adalah langkah lanjutan dari amanat yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU PPSK).
BACA JUGA:Bank Lampung Bisa Turun Kelas Jadi BPR, Tak Bisa Penuhi Modal Inti Rp 3 Triliun
BACA JUGA:Usaha Bangkrut, Diduga Terlilit Hutang, Motif Satu Keluarga Bunuh Diri di Apartemen..
Langkah ini bertujuan untuk memperkuat serta mengembangkan sektor perbankan, terutama BPR dan BPR syariah (BPRS).
“Sejalan dengan perkembangan yang semakin kompleks dan beragam dalam industri jasa keuangan,” tulisnya dalam keterangan resmi dikutip Selasa (6/2/2024).
Dua POJK yang diterbitkan adalah POJK Nomor 28 Tahun 2023 (POJK 28/2023) tentang Penetapan Status dan Tindak Lanjut Pengawasan BPR dan BPRS, dan POJK Nomor 1 Tahun 2024 (POJK 1/2024) tentang Kualitas Aset BPR.
POJK 28/2023 mencakup ketentuan mengenai penyesuaian aturan terkait status dan periode pengawasan BPR dan BPRS, serta tugas pengawasan OJK dan penempatan dana oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Salah satu contoh penerapan aturan ini adalah penyesuaian status pengawasan bagi BPR atau BPR Syariah yang ditetapkan dalam kondisi penyehatan.
Sementara itu, POJK 1/2024 mencakup penyelarasan peraturan mengenai agunan yang diambil alih, standar akuntansi keuangan, serta evaluasi penyelesaian kredit pasca-pandemi Covid-19.
Aturan ini merupakan bagian dari upaya OJK untuk menanggapi kasus kebangkrutan beberapa BPR di Indonesia.
Salah satu contohnya adalah Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS) Mojo Artho Kota Mojokerto (Perseroda), yang baru-baru ini kehilangan izin usahanya akibat manajemen yang tidak sehat.
Sejak awal tahun 2023 hingga awal tahun 2024, enam bank telah mengalami kebangkrutan di Indonesia.